Pagi itu, hujan turun. Dingin sedingin sapaan ibu ketika bertanya padaku:
"Mau ke mana, anakku?"
"Ingin menjemput hujan yang datang dari kota seberang"
"Hujan mana lagi yang ingin dijemput?" Tanya ibu kembali, sembari melihat diriku siap-siap mengambil sepeda motor.
"Hujan yang pernah kubawakan nasi goreng sebelum adzan magrib berkumandang."
"Mengapa kamu lebih perhatian sama hujan itu? Sedangkan ibu lebih lama menghujani jiwa dan ragamu dengan doa-doa, cinta dan keberkahan." Kata ibu sambil lalu tersenyum padaku.
"Bu, hujan ini berbeda dengan hujan yang pernah kukenal." Tegasku.
"Kusarankan kembali; bahwa hujan tak selamanya mendatangkan berkah, bisa saja hujan mendatangkan malapetaka." Saran ibu mengingatkan untuk selalu berhati-hati memilih hujan.
"Percayalah ibu, Hujan yang kujemput bukanlah hujan yang mendatangkan malapetaka, melainkan hujan yang pintar mengaji dan menjahit"
"Dari mana kamu mengerti bila hujan itu bisa menjahit dan mengaji? Bukalah mata batinmu untuk melihat hujan yang sebenar-benarnya hujan. Agar benih-benih padi tumbuh di ladang kita dan pohon kaktus tumbuh besar di halaman rumah."
"Insyaallah, ibu. Doamu adalah hujan yang menyertai nasib perjalanan hidupku." Jawabku sambil kuhidupkan sepeda motorku.
Aspal berlubang dalam tertutup luapan air mengalir deras dari selokan. Sampah-sampah mengapung seperti arak-arakan ketika musim haji dan musim kampanye. Kulaju sepeda motorku menuju pertigaan Prenduan, jalan yang selalu mempertemukan kerinduanku dengan Hujan. Hujan mengguyur baju sampai basah kuyup, menggigil, menggigit jari-jari tangan, kaki dan leher.
"Hujan telah menunggu." Seruku dalam hati.
Sedangkan diriku masih ingin bertemu dengan seorang kawan lama yang tadi malam mengirim pesan padaku. Dengan pakaian kurang sopan; rambut gondrong acak-acakan dan memakai celana jeans yang basah kuyup karena hujan mengguyur.
Kami bertemu di sebuah pondok pesantren yang diasuh oleh seorang kiai yang saban hari dan malam merawisatakan kitab kuning kepada santri-santrinya. Kiai penyuka kopi, pengarang puisi dan prosa yang cukup handal dan menulis catatan perjalanan tentang segala macam kejadian yang terjadi di jalanan.
Kami disuguhi kopi dan sarapan pagi yang sudah disiapkan. Mungkin untuk menghilangkan hawa dingin berseliweran menemani obrolan santai, penuh kegembiraan karena cukup lama tidak bertemu setelah sekian tahun. Tak lama setelah selesai sarapan pagi, tiba-tiba dering handphone berbunyi dan langsung kuangkat. Terdengar suara Hujan deras bergemuruh ingin segera dijemput di pertigaan Prenduan.
Rinduku kembali menghangatkan tubuhku untuk segera sampai di tempat Hujan menunggu. Hujan yang bercerita tentang benang kusut di kota yang kita tempati dan mesin jahit yang terkadang melukai tangan kita.
Dengan malu-malu seperti kucing terkena siram air tuba, aku langsung pamit pada kiai dan temanku walau hanya sebentar bertemu. Mungkin suatu saat kita dipertemukan kembali untuk sekedar mengingatkan bahwa masa lalu tidak sekedar kenangan.
Kuhidupkan sepeda motorku. Gerimis jatuh di hidung, pipi dan mata yang membuat konsentrasiku pecah melihat jalan menanjak, turunan curam dan tikungan yang cukup memacu adrenalin. Ada sedikit ketakutan untuk melaju cepat, karena takut terpelanting ke jurang atau meluncur di tengah aspal berkilauan seolah beling kaca berserakan.
Sesekali kulihat rumah-rumah dengan etalase toko berjualan keperluan rumah tangga, sebuah gardu listrik mulai dibangun di sekitaran bukit-bukit kecil dengan batu-batu terhampar, tanah bercampur kerikil dan rumput tumbuh di pinggiran perigi tertata rapi. Tak lama setelah sekian tikungan kulalui, ada beberapa anak-anak muda, ibu-ibu dan lelaki separuh baya bergerombol untuk meminta sumbangan pembagunan masjid yang ada di kampungnya. Masjid akan dibangun megah, mentereng dengan kubah besar, menara tinggi, lantai keramik dan pagar besi. Entah! Masjid yang dibangun akan selalu ramai oleh anak-anak mengaji, belajar ilmu agama dan berjamaah sholat lima waktu.
Kuperlambat laju sepeda motorku untuk menghormati mereka yang sedang beramal baik. Seperti mereka yang setiap hari berlarian sambil memegang gayung dan kardus mie instan bertuliskan: "AMAL" lalu menyodorkan pada pengendara bermotor dan mobil angkutan umum. Mereka berkumpul di sebuah gubuk kecil dengan pengeras suara yang terpasang. Lalu melantunkan shalawat Nabi dan ucapan selamat datang setelah ada yang memberi uang atau sekedar sebatang rokok. Dengan semangat mereka mengucapkan terima kasih berkali-kali dan mendoakan para penumpang, sopir dan pengendara motor yang melintas.
Deru mesin motor dan hujan silih berganti menemani perjalananku. Tikungan demi tikungan kulalui dengan hati-hati ditemani rindang pepohonan nan asri, ranting menjulur seperti tangan sepasang kekasih saling bergandengan. Burung-burung berkicau di dahan-dahan melambaikan sinar samar matahari. Tebing-tebing curam mengingatkan akan bencana longsor yang kulihat di televisi. Namun orang-orang di sini sangatlah faham bagaimana menjaga tumbuhan berakar kuat tidak akan ditebang untuk mengikat tanah agar tetap kokoh menahan erosi yang disebabkan air hujan mengalir deras dari dataran tinggi.
Sungguh menakjubkan! Tuhan menumbuhkan pepohonan beragam; mulai dari berbunga indah sampai berakar kuat dan menghasilkan oksigen untuk dihirup bersama-sama. Tidak seperti di kota-kota besar yang terkadang kemurahan alam sekitar dihancurkan dengan begitu saja, demi meraup keuntungan segelintir orang saja. Karena itulah alam mulai marah, ngamuk pada manusia. Dan korban dari keserakahan, kerakusan adalah orang-orang yang selama ini menjaga dan merawatnya. Sedangkan perusak alam bergembira karena telah mendapatkan keuntungan besar dari proyek gelap dan tak bertanggung jawab atas perbuatannya.
"Door!!! Doorrr!!! Dor!!!"
Tak lama setelah motorku melaju dengan cepat, tiba-tiba knalpot motorku mengeluarkan bunyi ledakan seperti senapan memuntahkan peluru tajam. Kepulan asap dari mesin basah air hujan menimbulkan bau tak nyaman. Aku berharap tidak ada kabel konslet karena motor sulit dihidupkan kembali. Tapi motorku tetap aman dan suara ledakan perlahan menghilang dengan sendirinya.
Walaupun begitu, knalpotku tidak mengeluarkan asap pekat. Mungkin hanya kelelahan karena sering dipakai mengangkut pupuk kandang ketika musim tembakau. Dan di sini, asap kendaraan masih minim sekali. Apalagi cerobong asap pabrik mengepul tiada henti. Hanya kepulan asap rokok di warung kopi yang pelanggannya para sopir angkutan umum, kernet dan masyarakat sekitar untuk saling tukar informasi tentang apa saja yang terjadi. Karena ngopi di warung hanya untuk tenang sejenak berpikir ulang untuk beraktifitas seperti biasanya; dari bertani, beternak, sopir, guru, dan sebagainya. Sebab ada pepatah lama mengatakan: Hujan emas di negeri orang, hujan kerikil di negeri sendiri. Angin sepoy-sepoy di negeri orang, angin puting beliung di negeri sendiri. Banjir susu di negeri orang, banjir pengangguran di negeri sendiri. Gempa bumi di negeri orang, gempa perasaan di negeri sendiri.
Setelah dari sekian meter dari tempat bertemu dengan peminta-minta sumbangan untuk masjid, kini bertemu kembali dengan gaya penyambutan yang lebih kocak. Para peminta-minta sudah sigap kanan kiri dengan gayung di tangan.
"Ontalaghi! Ontalaghi...! Ontalaghi!!!. Pak supir... Ontalaghi...! "
Sambutan penyiar (bukan penyair) yang duduk di sebuah gubuk kecil sambil melantunkan puji-pujian dan anjuran-anjuran sebagai umat Islam yang baik dan damai. Dengan diiringi musik hadrah yang diputar melalu mp3, layaknya penyambutan acara "Main Bhisan" di dalam serangkaian acara pernikahan ala orang Madura.
Geretap hujan jatuh pada genteng rumah mewah sejajar dengan jalan raya terdengar syahdu beriringan musik hadrah yang terus bertalu-talu. Para peminta-minta sumbangan tiada henti-hentinya melambaikan gayung yang dipegangnya. Ada yang seolah-olah mengatur laju kendaraan melintas sambil melambaikan gayung berisi uang recehan dan beberapa uang kertas.
Aku hanya bisa menundukkan kepala dan memperlambat laju motorku. Karena untuk mengambil uang di dompet atau berhenti sejenak mengambil uang sudah terlanjur jauh jaraknya dan harus berbelok arah. Jadinya, kuteruskan dulu untuk menjemput Hujan yang telah menunggu.
Di jalan yang menghubungkan Guluk-Guluk dan Prenduan; kurenungkan kembali makna kehidupan. Seperti jalan menanjak, menurun, belokan kanan dan kiri seperti jalan hidup bersama keluarga. Ada proses dan kerja keras, agar tidak hanya berpangku tangan menunggu nasib buruk dan baik. Walau terkadang ketika pipiku basah; aku tidak bisa membedakan linangan air mata atau air hujan kah yang menetes. Karena di lidah kelu ini; air hujan dan air mata sama-sama terasa asin dan terasa pahit ketika melihat kenyataan yang sebenarnya.
Rintik hujan tak juga reda. Kabel telepon dan kabel listrik membentang dari tiang ke tiang seolah bergetar kedinginan. Dari kejauhan terlihat hamparan laut bergelombang dari sela-sela rimbun pohonan rindang seakan mengantarkan gemuruh rinduku pada Hujan.
Namun tiba-tiba motorku manggut-manggut. Mungkin ada yang tersendat di selang dari tangki bensin. Entah! Biasanya begitu. Motorku manja. Sesekali minta ditiup di lubang tangki bensinnya, baru bisa menyala dan tidak mogok lagi. Biasa mesin sudah tua dan jarang diservis karena biaya perawatan tidak ada yang mensubsidi.
***
Orang-orang berbondong-bondong membawa ransel dan kardus besar sedang menunggu bis di trotoar sepanjang jalan Prenduan. Seorang bapak-bapak mulai kelihatan sibuk mengatur lalu lintas. Mengarahkan kendaraan yang mau berbelok ke arah jalan yang kulalui dan membantu anak-anak berangkat sekolah menyeberang jalan. Becak, mobil, bis dan angkutan umum mulai banyak melintas. Penjual rengginang, petis, ba'daba' dan oleh-oleh khas Madura mulai membuka tirai. Kulihat Hujan berdiri di trotoar. Mendung tersibak di langit Prenduan. Keteganganku selama di perjalanan berganti seperti memasuki taman surgawi dengan wildan-wildan pembawa kendi berisi susu, madu, buah-buahan, roti empuk dan kain sutra menyala.
Pelan-pelan kubelok motorku menghampiri Hujan yang berdiri di dekat pohon meneduhkan tubuhnya. Wajahnya berseri-seri, bibirnya seolah kelu karena hawa dingin masih membatu. Hujan menundukkan kepalanya setelah kusapa dengan lembut. Matanya terlihat lelah, namun alisnya kubayangkan pedang Zulfikar kepunyaan sayyidina Ali bin Abi Thalib, warisan dari Nabi Muhammad SAW.
"Kita mau kemana, sayangku? Sekarang hatiku lagi bergejolak, seperti ada peperangan tak kunjung selesai." Kata Hujan dengan suara lirih seolah tertahan, namun lepas dari lubuk hatinya.
"Tak usah dipikirkan tentang perang yang pernah kuceritakan. Karena sekarang kita akan menghadapi perang terbesar dalam diri kita sendiri."
"Perang apa itu?" Pertanyaan Hujan menusuk pikiranku.
"Kita akan selalu menghadapinya di setiap ruang dan waktu."
"Mengapa diriku merasa takut, khawatir dan ragu dengan peperangan ini?"
"Kita tak perlu takut, sayangku. Semasih kita ingat, bila kita tidak hanya berduaan saja."
"Saya mengerti itu. Tapi, apakah kita mampu mendamaikan peperangan yang selalu terjadi dalam diri kita?" Hujan memandang mataku, tapi mata Hujan berlinangan air mata.
"Hujan, kamu tidak boleh menangis. Aku tidak bisa melihat kamu menangis. Cukup air mata ibuku yang pernah kulihat. Sebab tidak ada air mata sesuci dan sebening air mata ibuku."
"Mengapa ibu sampai menangis?!"
"Sebenarnya saya sudah pantas dikutuk menjadi batu seperti si Malin Kundang itu."
"Hah! Mengapa kamu bicara seperti itu?"
"Ya! Saya hampir kehilangan rasa hormatku pada ibu, karena setiap waktu selalu ingat akan alis matamu."
"Kenapa dengan alis mataku? Gombal kamu...! Bohong!!!" Hujan kembali ceria dan tertawa setelah kukeluarkan jurus gombal gimbal mabuk seribu bayangan.
"Katanya aku jelek?" Kata Hujan mulai mengingat-ingat akan candaanku.
"Ya, kamu jelek. Kamu merasa cantik?"
"Masak tidak ada cantik-cantiknya sama sekali?" Keluh Hujan sambil lalu melangkah untuk memberi jalan orang lewat.
"Bila kamu dibilang cantik, maka kamu akan ke PD an... Karena kata cantik itu mengundang beban."
"Beban apa?"
"Beban kosmetik yang harus dibeli. Kemarin kulihat di online shop harga kosmetik mahal-mahal. Satu paketnya bisa satu jutaan."
"Bukannya orang jelek yang membutuhkan kosmetik? Kalau udah cantik, ya tidak usah beli kosmetik." Sanggah Hujan kembali sambil mendorong lenganku.
"Kalau jelek mau pakek kosmetik apa pun tetap jelek, sayangku. Dari pada buang-buang uang hanya untuk membeli kosmetik mahal-mahal, lebih baik ditabung buat masa depan anak cucu kita." Aku ketawa terbahak-berhak sampai orang-orang di sekelilingku risih melihat tingkahku.
Hujan tiba-tiba menyeberang jalan ke arah trotoar dekat toko emas. Kupanggil berkali-kali, namun tak sedikitpun menoleh atas panggilanku. Kukejar Hujan dengan sepeda motorku, tapi jalan pertigaan Prenduan tiba-tiba macet. Hujan tak terlihat lagi karena terhalang truk pengangkut pasir berjalan pelan. Aku berusaha mencari celah jalan untuk bisa menerobas. Tak lama setelah jalan kembali normal, diriku langsung mengegas sepeda motorku menyusuri trotoar. Deretan toko emas, super market dan penjual perlengkapan menjahit telah kulalui sambil kutanyakan pada penjaganya, namun mereka sama sekali tidak melihat perempuan melintas di depan tokonya.
"Hujan! Kemana kamu?" Keluhku dalam hati.
Langit Prenduan kembali mendung, guntur dan bunyi klakson memekakkan telinga, tapi tak ada setetes pun gerimis jatuh di aspal.
Kurogoh handphone dalam saku celana untuk menghubungi Hujan. Kutelfon berkali-kali, tapi tak juga diangkat-angkat. Kuhidupkan motorku.
"Talang Siring. Ya! di Talang Siring." Pikirku menerawang.
Lalu kuputuskan berangkat ke Talang Siring. Kulaju sepeda motorku dengan cepat, walau jalanan dari arah kota Pamekasan cukup padat. Sambil kuingat-ingat cerita Hujan sewaktu kecilnya sering diajak ibunya ke Talang Siring. Sebuah pantai di pinggiran jalan raya yang tak begitu bagus, namun selalu ramai oleh anak-anak muda lagi santai-santai melihat deburan ombak menghempas batu dan pohon mangrove.
Aku telah memasuki gerbang masuk Talang Siring. Kulihat ombak masih tenang dan damai seperti biasa. Pagan penangkap ikan di tengah laut yang terbuat dari bambu masih ada. Namun tak terlihat kapal atau perahu berlayar dari kejauhan. Kulihat Hujan sedang berdiri dengan seorang lelaki di bibir pantai.
"Hujan! Mengapa kamu bisa sampai disini?"
Hujan menoleh ke belakang, namun ternyata bukan Hujan yang kumaksud. Hujan yang kumaksud ada di sebuah hamparan batu dengan sebuah perahu kecil terikat.
"Maaf!" Kataku pada perempuan itu.
Lalu kuhampiri Hujan yang lagi duduk sambil melempari riak air laut dengan kerikil.
"Aku ingin mengajakmu menaiki perahu kecil ini ke pulau impianku?" Kata Hujan.
"Jangan aneh-aneh, Hujan! Tidak ada gunanya khayalanmu itu. Apa yang membuat dirimu seperti ini?" Tanyaku pada Hujan.
"Sebuah puisi yang dibacakan seorang lelaki yang kukenal di depan gedung rektorat kampus." Jawab Hujan dengan muka sinis, lalu menyodorkan kertas bertuliskan puisi.
"Buat apa ini?!" Kuambil kertas itu.
"Bacalah! Bacalah puisi itu. Agar kamu mengerti perasaanku." Kata Hujan sambil berdiri di sampingku.
Terpaksa kuambil dan kubaca dengan sedikit gugup. Sebab baru kali ini membaca puisi di depan Hujan.
BINTANG API
Sucikanlah tubuh ini dari kesia-siaan yang selalu hadir
seperti hikayat bintang yang kaupandang sebagai awal pertemuan
Lirih suaramu mengajakku pergi dari masa lalu.
Sebab bayangmu terasa lebih dekat dari bayanganku sendiri
dan bayangku kembali tersesat di sebuah ruang asing,
dimana rindu seperti labirin sunyi ketika malam jatuh di pundak bumi.
Dan langkahku semakin jauh mengejar panggilan kemerdekaan
yang dikibarkan di puncak kebekuan.
Panggil aku kekasih di hari yang bahagia ini
Kuingat tajam matamu di sebuah meja makan
dan dingin tanganmu yang kugenggam
layaknya waktu menyusun keagungan doa-doa suci.
Kita naik ke surga; membawa peta dan sejuta lilin,
Sampai api tintaku mencair, mengalir ke lubang tikus,
Di sarang musang dan gubuk penyamun.
Madura, 2015
Setelah selesai kubaca dengan penuh penghayatan ke dalam maksud puisi, kurasakan pasang surut ombak dalam dada dan desiran angin menerpa rambut panjangku. Kulihat Hujan menghilang dari sampingku. Entah kemana perginya.
Langit kembali gelap. Orang-orang berhamburan mencari tempat berteduh. Gerimis turun. Kuteriakkan nama Hujan seperti terjangan ombak pada batu-batu karang dan akar mangrove mencengkeram dasar laut.
Aku tetap berdiri di pinggir pantai. Kubuang puisi itu ke laut yang terus berdebur. Ombak kecil menyeretnya perlahan ke tengah gelombang. Kuteriakkan nama Hujan berkali-kali, sampai suaraku serak dan tak bisa berkata apa-apa lagi.
Tubuhku menggigil kedinginan sampai ke tulang persendian. Gerimis memanah tubuhku berulang-ulang. Kubentangkan tanganku menunggu dekapan hangat kuasa Tuhan, untuk memeluk jiwaku yang kini terombang-ambing.
Kurasakan tangan halus memegang bahuku, lalu memelukku dari belakang. Kucoba melepaskan pelukannya, namun semakin kuat mencengkram. Hujan tertawa setelah kulepas palukannya. Aku menoleh ke belakang dan telunjuk Hujan menunjuk pas ujung hidungku, sambil tersenyum-senyum manis seperti sawo mateng.
"Jangan bikin khawatir lagi. Sama sekali tidak lucu!"
"Mengapa puisinya dibuang ke laut?"
"Bila puisi itu bagus dan layak dibaca oleh siapapun, maka puisi itu akan abadi mengarungi zaman ke zaman."
"Itu puisi persembahan buat diriku." Kata Hujan sambil melihat awan tebal menyebar di atas laut Talang Siring.
"Terserah itu puisi apa. Tapi kamu harus jujur padaku. Apakah kamu memilih dia? Ataukah memilih diriku?"
"Tidak memilih siapa-siapa, yang kupilih hanyalah takdirku akan mempertemukan diriku dengan siapa." Jawaban Hujan lebih rumit ketimbang puisi yang dilempar ke laut.
"Takdir! Takdir katamu tadi?"
"Ya. Saya kurang percaya dengan puisi cinta semacam itu. Apalagi puisimu yang kamu posting di facebook."
"Puisi yang mana?"
"Itu... Puisi yang pernah dibuatkan video, "Tuhan Memberi Jalan" kalau tidak salah judulnya."
"Kamu punya videonya?"
"Coba buka di Youtube, mungkin masih ada."
Kuambil handphoneku dari saku celana. Kuhidupkan lalu kuketik judul puisi dan namaku. Sinyal lagi kurang bersahabat. Video tak juga muncul, malah keluar pemberitahuan dari operator kartu yang kupakai:
"Coba punyaku aja." Kata Hujan sambil mengambil handphone barunya. Di bukanya youtube dan diketik judul puisi dan namaku. Lansung muncul video yang tadi mau ditonton. Seorang perempuan membacanya, diiringi instrumen dan visualisasi atas isi puisiku. Kita sama-sama menontonnya sampai selesai:
TUHAN MEMBERI JALAN
Pernah kutuliskan sesuatu di telapak tanganmu,
lalu kudekapkan pada denyut jantungmu.
Tuhan memberiku jalan untuk bertemu
Karena selalu kuingat senyum ibu
Ketika kukatakan rindu
Dan sudah lama tak bertemu.
Tapi mengapa ballpoint itu tertinggal di meja makan?
lalu kita sama-sama melupakan
Hanya kelabu...
Jalanan adalah saksi kita pernah bersatu
"Ibu, terlalu batu dosa-dosaku padamu."
Dalam remang, terminal masih tampak seperti pesta ulang tahun
Mungkin hanya waktu itu
tulisan tanganku seindah kehidupanmu
Walau bau sampah menyengat
Bau pesing terasa ganjil
Debu jalanan bersenggama dengan asap kenalpot.
Seperti menunggu keajaiban turun
Atau akan mencari terminal baru
Bagi para pejalan yang terus mencari
Entah sampai atau masih menunggu bunyi klakson
juga jerit rem di kemudian hari
2019
"Sekarang, aku ingin bertanya." Hujan lansung mematikan handphonenya setelah video selesai ditonton.
"Soal apa?" Jawabku.
"Siapa yang membaca puisimu itu?"
"Itu teman dari Lubuklinggau. Teman diskusi soal banyak hal. Dia penulis. Suka buat film pendek sama anak TBM-nya."
"Kok bisa ngerti puisimu?"
"Puisi ini sengaja kukasih ke dia untuk dibuat video."
"Puisi ini kamu persembahkan ke aku kan?"
"Tidak! Kamu merasa puisi itu buat kamu?"
"Saya perhatikan isi puisinya sama persis seperti pengalaman kita ketika awal-awal kenalan."
"Sebenarnya puisi ini buat ibuku. Tapi isi dari puisi itu menggambarkan akan pengalamanku denganmu."
"Kamu sebegitu dalam melihat peristiwa itu, sedangkan diriku merasa biasa-biasa saja."
"Sesederhana apapun peristiwa yang terjadi, bila benar-benar dihayati atau direnungkan dengan baik akan menghadirkan penafsiran baru dan keindahan baru."
"Kamu belajar dari mana?"
"Dari banyak hal. Salah satunya adalah pengalaman hidup, pembacaan ulang atas realitas, pencarian sudut pandang baru, pengucapan atau cara ungkap, dan pemilihan kata atau bahasa. Maka makna memancarkan sinarnya ketika kita sadar bahwa apa yang kita tulis telah berjiwa dan mewakili semua perasaan kita."
"Bukan di sekolah atau di kampus?"
"Hujan... Hujan, kalau hanya mau nulis puisi tidak usah masuk kampus. Tapi kalau mau belajar teori dan semacamnya malah bagus di kampus."
"Masak begitu?"
"Ya... Paling tidak membaca buku-buku yang sering dibaca para dosen atau mahasiswa. Atau diskusi sama penyair yang punya karya bagus dan mahasiswa jurusan sastra. "
"Kamu lakukan itu?"
"Bentar.... kamu mulai tadi bertanya terus. Gimana kalau aku yang bertanya?"
"Mau bertanya apa?"
"Puisi siapa yang kamu ingat sampai sekarang?"
"Puisi kamu. Puisi yang pernah kamu baca di acara buka puasa bersama."
"Puisi mana?"
"Puisimu saya hafal walau tidak pernah kubaca lewat teks, melaikan hanya mendengar dari kamu saja. Dengarkan ya.... Saya akan membacakan puisimu:"
KEGILAAN DALAM PENCARIAN
Sebelum aku gila, aku harus menemukan kegilaanku
Pada setiap pencarian, akan kutinggalkan diriku sendirian
Agar matiku tak hanya batu nisan kesepian di hamparan rerumputan
Bila tidak kutemukan kegilaanku
Maka jalan pikiran akan kugambar di mata kekasih
Ketika getar bibir mengisyaratkan, bahwa matiku hanya untuk aku
Sebelum aku mati, perkenankan diriku memanggil
Apa saja yang telah dianggap sia-sia
Akan kuajak berbincang-bincang
Tentang bumi dan air yang ingin kutinggalkan dengan bahagia
Sambil kukecup luka dan membekukan airmata
Bila mereka tidak mendatangiku
Akan kubacakan sajak paling sedih
Tentang pagi yang lenyap
Bersama nama-nama yang pernah kucatat sebagai senjata
Karena gila dan matiku, sama-sama tidak akan menemukan
Di mana sejarah dimulai, di mana kehancuran
menyatu dalam kibaran bendera
Sumenep, 2018
"Bagus tidak, aku baca puisinya?"
"Kamu tidak membaca, tapi menghafalkan. Tapi aku kagum dengan ketajaman ingatanmu."
"Puisi kamu itu kecil.... Aku lebih banyak hafal Al-quran dari pada puisi-puisimu."
"Baguslah. Siapa suruh menghafal puisiku? Puisiku bukan untuk dihafalkan, karena pahalanya kecil. Hahahahaaa.."
"Serius jawabnya... Bagus tidaaak?"
"Baguuuus....Buktinya kamu tidak hanya puisi itu yang kamu baca. Ada satu lagi yang pernah kamu baca yang judulnya: "Layang-layang Pulang", puisi untuk adikku."
"Ingat sekali, puisi itu sangat menyentuh."
"Aku merinding mendengar kamu membacanya. Tapi kubaca sendiri malah biasa-biasa saja. Karena membaca puisi itu tidak gampang juga untuk bisa menarik pendengarnya. Perlu penjiwaan, kesesuaian intonasi, ritme, vokal, ekspresi, dan banyak lagi yang harus dikuasai."
"Malah saya baca puisimu itu seenak mulutku saja. Kenapa bisa bagus ya?"
"Mungkin karena kamu terbiasa mengaji Al- Qur an dengan baik. Itu salah satu cara melatih diri kita untuk bisa berkomunikasi dengan diri sendiri, orang lain dan dengan yang Maha Gaib."
"Sejauh itu kamu menilai cara membaca puisiku! Masyaallah... Subhanallah...."
"Al Qur an itu indah ketika kita pelajari maknanya dengan baik dan benar"
"Sepertinya kamu rajin juga membaca Al Quran." Kata Hujan sambil berlarian menuju bagunan kecil yang tembuat dari tembok. Aku mengikuti langkahnya yang kian cepat dan langsung duduk di sampingnya.
"Hujan, dulu ketika masih di pondok pesantren, saya sering ikut lomba baca puisi. Dan latihan vokalnya dengan cara mengaji Al Quran. Mengaji dengan suara rendah seperti orang berbisik, suara sedang seperti orang ngobrol biasa dan suara tinggi sampai urat leher mau putus."
"Aneh-aneh kamu itu!" Hujan memasang mimik wajah tidak enak, seolah tidak begitu tertarik dengan ceritaku.
"Dari pada latihan vokal seperti anak-anak teater lainnya; teriak-teriak tidak jelas. Ya, saya milih jalan latihan vokal seperti itu."
"Terus kapan latihan baca puisinya?" Seketika Hujan berdiri seolah mencari posisi yang bagus untuk melihat laut.
"Setelah kerasa suaraku habis dan keringat mengucur habis."
"Stress kamu itu!"
"Yang stress kamu.... dengerin dulu...!! Baru kubaca teks puisi yang mau diikutkan lomba." Jawabku sedikit ada nada emosi.
"Baca puisinya sama seperti kamu mengaji?"
"Caranya sama. Tapi terlebih dahulu berusaha sedikit hafal teks puisi dengan cara mempelajari makna puisi."
"Kalau tidak mengerti gimana?"
"Gampang... Aku bisa tanya sama senior atau mencari esai yang pernah membahas puisi itu."
"Kalau puisi itu tidak pernah dibahas gimana?"
"Seperti yang tadi kubilang; bertanya sama senior atau yang mengerti puisi."
"Kalau belum mengerti juga?" Hujan mengangkat tangannya seolah-olah mengekspresikan akan kekesalannya.
"Cobalah mengerti sendiri. Masak sedikit pun tidak bisa mengerti puisi. Pelajari dari kata per kata, larik per larik, bait per bait dan sampai keseluhan puisi."
"Waktu kamu ikut lomba baca puisi pernah juara tidak?"
"Ya, tidak pernah!"
"Halllaaaah.... Kok bisa?! Kan udah latihannya maksimal."
"Sulit juara"
"Kenapa?"
"Suliiiiit"
"Kenapa sulit?"
"Tidak punya orang dalam."
"Maksudnya? Orang dalam gimana?"
"Orang dalam yang bisa menilai dengan kualitas pembacaan puisi yang bagus dan menarik. Haaaahaaaahaa...!! "
"Ah! Pusing aku.... ditanya malah ketawa. Dasar orang aneh!"
"Ah! Lupakan saja. Aku memang merasa tidak pantas menjadi juara. Tapi niat aku ikut lomba hanya pengen mengasah mental saja."
"Wah... itu alasan orang tidak pernah juara."
"Kalah dalam perlombaan baca puisi, tapi latihan vokal dengan mengaji dapat pahala."
"Walaaah.... lalu jadi penceramah."
"Oh!!! No... No... keilmuanku masih sedikit soal agama. Tidak pantas menjadi penceramah."
"Terus?"
"Aku putuskan belajar mengarang puisi. Bukan pembaca puisi. Karena dengan menulis, aku bisa seperti penceramah."
"Tambah aneh kamu itu. Katanya tidak mau jadi penceramah karena kapasitas keilmuan kurang memadai. Gimana kamu?"
"Jadi penceramah itu harus punya keilmuan bagus soal agama, soal kemasyarakatan, soal kenegaraan dan banyak lagi. Lupakan saja obrolan ini. Tidak begitu penting bagi perasaanku saat ini."
"Menurutku ini penting. Agar ngerti bagaimana kehidupanmu dulu."
"Kehidupanku masih biasa-biasa aja. Banyak orang yang lebih gila cara berpikirnya."
"Gila gimana?"
"Gila mencintaimu dengan cara menuliskan puisi yang begitu dalam memaknai hidup."
"O... Lelaki yang menuliskan puisi untuk aku itu?"
"Betul!"
"Itu Namanya Chihie. Chichie lelaki pemurung, suka menyendiri, kutu buku yang super gila."
"Dia kutu buku?"
"Ya. memangnya kenapa? Dia pernah bercerita padaku soal kehidupannya ketika masih di rantau. Dia pernah melakukan hal-hal gila. Tidak seperti kebanyakan teman-temanya."
"Melakukan apa?"
"Dia kalau baca buku, terus tidak mengerti-mengerti dengan buku yang dibacanya, maka dia akan jalan kaki siang-malam mengelilingi kota yang dia tempatin dengan menggendong tas berisikan buku-bukunya. Dan buku yang bawanya tidak sedikit jumlahnya."
"Itu bakul buku apa perpustakaan jalan?"
"Bukanlah! Katanya olah raga saja, sebagai ritual otak agar bisa jalan lancar."
"Wah berat juga kalau baca buku lalu tidak mengerti buku yang dibacanya, terus gendong buku sebanyak perpustakaan."
"Tidak segitunya.... Masak se perpustakaan dibawa semua. Tapi memang berat kalau tidak punya semangat kuat."
"Tapi bukan kata Dilan kan?"
"Wah! Dilan tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan Chichie."
"Kenapa tidak ngajak teman-temannya berdiskusi."
"Kan udah saya bilang. Chihie itu penyendiri dan sulit adaptasi dengan lingkungan."
"Chichie jalani hidupnya seperti itu terus?"
"Entahlah! Masak setiap baca buku selalu tidak mengerti."
"Tapi Chichie bisa buatin puisi bagus untuk kamu."
"Itu karena Chichie tidak putus asa. Dia bangkit menulis kembali setelah kenal denganku."
"Sekarang ada dimana Chichie?"
"Sekarang bekerja di percetakan buku di Jogja."
"Sejak kapan?"
"Sejak dia lari dari rumahnya, karena ada masalah dengan keluarganya. Terutama sama ayahnya yang sering menyuruhnya pergi dari rumah. Chiechi minggat dari rumah habis magrib dengan jalan kaki sendirian," Suara Hujan mulai mengecil karena airmatanya tiba-tiba berjatuhan di pipinya, "Sekarang Chichie sudah tidak ada kabar. Nomer teleponnya sudah tidak aktif. Kulihat di beranda Facebook dan instagramnya tidak ada respon sama sekali." Hujan pun menghapus air matanya lalu membetulkan ujung kerudungnya dengan cara ditiup.
"Kamu cantik kalau sedang meniup ujung kerudung. Hahaha!!!"
"Hmmm.... " Keluh Hujan dengan nada manjanya karena kubilang cantik.
"Doakan saja semoga Chichie kembali lagi ke orang tuanya."
"Dia punya tekat besar untuk hidup mandiri dan akan membuat bangga orang tuanya."
"Bagus kalau begitu. Mungkin suatu saat kalian akan dipertemukan kembali."
"Sejak awal kenal dengan diriku, Chichie banyak memotivasi diriku, kita pernah janjian untuk menghatamkan Al Quran bersama dalam waktu sebulan. Pengalaman itu tidak bisa saya lupakan begitu saja."
Handphone Hujan tiba-tiba berbunyi. Hujan mengangkat panggilan itu.
"Kamu dimana sekarang?" Hujan langsung merespon suara lelaki yang menelponnya, "Di Talang Siring." Hujan melanjutkan pembicaraannya."Saya tunggu di sini aja ya. "Waalaikumsalam...." Hujan menutup teleponnya.
"Siapa yang telefon? Tanyaku seketika.
"Chichie mau ke sini." Kata Hujan dengan ekspresi kegembiraan yang luar biasa.
"Dia mau ke sini?
"Ya. Dia pengen ketemu."
"Terus aku gimana?"
"Ya... tidak apa-apa."
"Dia naik bis?"
"Naik bis mini dan nanti saya disuruh ikut dia."
"Aku ditinggal sendirian disini?"
"Kalau mau ikut ayooo..."
"Aku naik motor."
"Ya udah. Naik motor aja. Saya nunggu di pinggir jalan raya ya. Terserah kamu mau pulang atau gimana?"
Hujan langsung pergi meninggalkan diriku untuk menunggu bis mini di depan gerbang Talang Siring. Kuambil motorku untuk menghampiri Hujan, namun sepeda motorku tiba-tiba susah dihidupkan. Berkali-kali kuhidupkan, namun tak juga menyala. Kulihat bis mini berhenti di seberang jalan dan Hujan lari-lari kecil menghampiri bis mini yang tiba-tiba berhenti dan masuk ke dalam.
Dari mana ide puitik itu datang? Apakah kita harus menapaki dunia khayali tentang kenangan, pengalaman, dan dunia rekaan kita sendiri. Tinggal bagaimana semua itu ditangkap dan dibumbui dengan kegalauaan, kesengsaraan, dan ambisi-ambisi kebencian yang bersarang dalam diri. Lalu dituliskan tanpa memastikan seberapa kuat yang akan kita angkat dalam bentuk karya sastra (puisi). Namun dengan perenungan atas jiwa-jiwa realitas dan kehampaan diri agar puisi yang kita ciptakan tidak mati dan hilang dalam lingkaran zaman yang tak pernah pasti.
Seperti puisi “Lalabet”, karya F Rizal Alief yang mengingatkan kita tentang kepergian (maut) dan kedatangan. Walau pun sebenarnya dua kata itu tidak ada perbedaannya. Baik kematian itu sendiri atau kelahiran yang menuntut untuk menunggu giliran semata. Ketika keabadian berusaha untuk menjaga atas apa yang ada dalam keyakinan di setiap makhluk untuk tetap pasrah dan tunduk pada takdir. Pada waktu yang selalu setia menemani untuk selalu bertemu dengan segala hal, dengan segala bentuk keagungan yang hadir dalam setiap diri. Walau kematian itu sendiri bukanlah akhir dari pengembaraan suatu pengharapan atas segala yang hidup. Hidup yang sebenarnya penuh dengan liang maut yang tidak hanya difahami dengan terpisahnya ruh dari raga.
Untuk menemukan makna utuh dalam puisi FRA, saya sedikit berusaha masuk dengan memasuki pengimajian atau citraan. Ketika membaca puisi FRA, saya sebagai pembaca seakan disuguhkan sebuah cerita sederhana yang berjalan pelan-pelan menuju liang masa laluku di kampung halaman. Tentang solidaritas untuk sama-sama saling meleburkan diri pada suatu persoalanan. Baik masalah kepergian (Maut) atau kejadian-kejadian yang terkesan penuh dengan perayaan (pesta). Masyarakat yang taat dalam beragama dan mempunyai kesadaran yang luas tentang hidup bersama. Sebab kesedihan, penderitaan, dan kematian seseorang tidak lagi menjadi milik individu, melainkan telah menjadi milik bersama.
Sebuah bentuk dari rasa solidaritas masyarakat kampung yang sangat antosias ketika ada tetangga atau kerabat yang dilanda musibah atau sedang mendapatkan kebahagian. Setiap individu ada banyak cara untuk bisa ikut berpartisipasi. Dari yang hanya cukup melawat untuk menghibur keluarga yang tertimpa musibah, mendoakan almarhum (ah), ada juga yang hanya mempersiapkan segala kebutuhan ketika prosesi pemakaman dan doa bersama di kediaman keluarga yang bersangkutan. Tercermin dalam tiga bait puisi di bawah ini:
Lalu kami mengunjungi rumah duka
sebagai anak dan orang tua
sebagai saudara
sebagai pasangan yang selalu muda
sebagai orang yang pernah hidup bersama
dalam suka-duka
atau sebagai seseorang yang tak pernah ada luka.
Sebagian dari kami membawa cangkul dan sabit pergi menggali kuburan
setiap hentakan
kami mendengar desau kematian,
keringat menetes perlahan
melubangi keperkasaan
yang tak lebih dalam dari sejengkal galian
sebagian yang lain datang menyunggi beras dan pisau dapur
untuk menutup lubang-lubang air mata
dan memotong gelombagnnya.
Pendekatan realitas sosial dengan alam gaib memang sangat baik untuk membawa pembaca ke dalam dua dunia yang berbeda. Ruang-ruang yang tidak terhingga yang akan menemukan keindahan yang tidak hanya pada citraan-citraan yang dibangun dalam setiap ungkapan. Seperti rumah yang tidak lagi bermakna rumah yang kita ketahui, tapi jauh lebih luas, dalam dan menjadi sebuah wilayah yang tidak bisa terjangkau oleh panca indra. Jarak yang tidak bisa dijangkau secara definitif, apa pun intrumen ilmiah yang digunakan untuk mencarinya. Berbeda bila hanya sebuah tanda-tanda yang terjadi pada setiap peristiwa yang dihadapi. Pada diri yang tidak lagi menjadi seorang diri bagi lingkungan yang membentuk jalinan kisah hidup. Meleburkan diri menjadi suka-duka orang di sekitar.
Walau sepintas puisi FRA sangat lugas atau gampang untuk dimengerti, diparafrasekan, dan dihayati kembali sebagai penggambaran ulang dari realitas yang telah biasa dilakukan oleh masyarakat pada umumnya. Puisi yang terkesan prosaik karena puisi mempunyai alur cerita yang jelas dan bentangan waktu yang cukup panjang ketika mengabarkan sebuah peristiwa yang dialami oleh penyairnya.
Puisi FRA, seperti mata yang sedang melihat replika Rumah dalam kaca. Penyair hanya bisa mencitrakan persoalan-persoalan yang terlihat saja, namun tidak bisa mengukur seberapa panjang dan luasnya sebuah bangunan realitas yang dilihatnya. Seolah realitas yang pandang dari replika rumah tidak bisa dijelmakan atau dihadirkan dengan bentuk yang berbeda. Hanya saja terlihat bagaimana aktor-aktor bergerak dalam waktu jauh menghadapi persoalan itu. Sebuah citraan sikologis, daun-daun jatuh, jendela dan pintu, batu, dan lain kebagainaya.
(Membaca “Perihal Kebingungan Kita Pada Nasib” Puisi Slendang Sulaiman)
Manusia selalu dibenturkan dengan kebingungan-kebingungannya sendiri ketika menghadapi masalah yang menderanya di setiap waktu dan hari-harinya. Kebingungan yang terkadang membutuhkan teman berbagi atau tidak butuh siapa pun selain dirinya sendiri di dalam sebuah perjamuan untuk mendengarkan suara-suara yang didengarnya dari segala penjuru. Baik kabar itu datang dari teman se ngopi, se organisasi se mantan, se pacar atau pun media lainnya. Walau dalam sebuah perjamuan tidaklah semuanya suci, berarti dan kebenaran tidak selalu benar, namun kemunafikan yang sampai detik ini masih bisa kita lihat, dengar dan dirasakan bersama-sama dari mulut para penguasa di negeri ini.
Di mana kesederhanaan ungkapan menghadirkan gambara abstrak dari kekejaman penguasa dan derita bangsa yang katanya merdeka. Seperti yang tergambar dalam puisi Slendang yang sempat kubaca dan berusaha menyelaminya sambil mendengarkan instrumen Balkans–A Mazika, Vanessa Mae–Clasical Gas dan Bach–B randenburg Conceto. Sungguh indah pagi yang penuh nada-nada cinta dan hentakan jiwa.
Dalam puisi Slendang saya banyak menemukan asosiasi dari kata sifat, kata kerja, ajakan, dan seruan seperti yang sering kita dengar dari curhat-curhat manusia yang terjangkit virus kegalauan. Puisi yang menghadirkan senyuman, kopi dan rokok, untuk sejenak melupakan sesuatu yang sebenarnya sangat berat bila hanya dipikirkan oleh seorang diri (Slendang). dan sejenak untuk melupakan akan masa depan yang lebih indah, tidak seperti apa yang dipikirkan. Bagaimana seorang “Nun” bisa memberikan jalan keluar bagi jalan hidup yang lebih tenang, terang, penuh keintiman dalam kemesraan cinta yang begitu Agung. Namun puisi tidak seperti percumbuan sederhana ide, pengimajian, memilih metafor, dan bagaimana cara mengungkapkan tentang sesuatu yang terasa perlu atau menyiksa batin.
Dari hasil percumbuan penyair tidak hanya melahirkan benda-benda yang tidak lagi menjadi sesuatu yang hidup kembali. Atau hanya terkesan menegaskan akan cita rasa atau hanya sekedar fungsi dari sebuah benda itu sendiri. Seperti pada bait ke tiga di bawah ini:
nun, cigaret + secangkir kopi setidaknya dapat mengikis
kebingungan kita yang akut. meski di koran dan televisi
penderitaan demi penderitaan digelar dengan kemewahan
Puisi Slendang mencoba membenturkan persoalan sehari-hari dengan persoalan kebangsaan yang mungkin sudah banyak diketahuinya. Namun penyair tidak berani atau sengaja dalam puisi tidak meneriakkan keluh kesahnya dengan lantang, penuh kobaran api, penuh teror, apalagi darah. Penyair memilih nuansa kemesraan, keharmunisan sebagai lelaki yang menunggu kekasihnya datang menemuinya di sebuah warung kopi. Di mana kemabukan ungkapan, loncatan imaji, dan rima menjadi campur aduk. Sebab nasib puisi dan hidup tidak bisa ditunggu seperti gorengan yang dipesan di kasir yang cantik itu. Puisi hanya akan menjadi gorengan siap santap di atas piring kebingungan, ketakutan, kekalahan dalam menghadapi dunia yang serba menu dan harga mati. Sekian.
*Pendapat sendiri. Sekedar meramaikan diskusi Komunitas RUDAL, Yogyakarta.
Pada lekuk tubuhmu;
Kusimpan peta dan sejarah aroma bunga
Kusematkan bersama tahi lalat sebagai tanda keabadian
Mengukur jarak kepergian untuk sejenak melupakan hasrat dan kemalangan
Agar kegelapan sirna dari percakapan api yang terus didendangkan
Aku pergi memasuki ruang masa lalu
Sebagai pengabdian keindahan untuk para leluhur
Yang terus hadir dari tangan-tangan perempuan lain
Kureguk hiasan warna dari alam yang kita cintai
Sebagai pelindung dari lekuk tubuh dan tahi lalatmu
Pada lekuk tubuh dan tahi lalatmu;
Kutemukan kemuliaan yang harus dijaga sepanjang masa
Sebab bara lebih sakit dari api air mata
Lebih bisu dari kesunyian yang kurasa
Duhai... pikiran lelah penuh kotoran dunia
Duhai... jiwa fana terhempas ke ruang makna
Lekuk tubuh dan tahi lalatmu merasuk ke dalam tubuhku
Menjadi garis-garis tajam, menjadi lingkaran mengungkung, menjadi rajah tak terucapakan.
Pada lekuk tubuh dan tahi lalatmu;
Menjadi amsal segala resah yang terus membuncah
Kupeluk, kuciumi penuh ragu-ragu dan amarah!
Namun tetap kurawat buah dari pohon silsilah
Sampai pohon tumbang ke liang tanah
Asap lilin dan keringat canting
Menyengat ke dalam hidung
Kain bertuliskan nama kekasihnya
Yang tidak akan bisa tergunting
Setelah menyentuh huruf pertamanya
Gunting akan patah!
Utuh bersama bunga dan reranting
Cakra kembar dan kereta kencana
Kuku naga di setiap garis-garis tepinya
Menjadi ragam hias sepanjang hidupnya
Kain bertuliskan nama kekasihnya
Akan selalu dijaga bersama burung merak,
Burung kuntul bermain di telaga,
Bangunan bersejarah dan tempat ibadah
Kain itu akan tetap tersimpan
Bersama bunga anggrek dan buah asem
Kuda hitam memandang siang dari dalam
Menapaki waktu seiring dentuman masa laluku
Sebab tak ada cara untuk melarikan diri dari puisi
Ingatan semakin tua dan kegilaan memberat di kepala
Puisi selalu menjemput dengan kaki kursi yang tetap kokoh
Dalam lingkaran zaman yang seperti lelucon
di alam pekuburan kebangsaan
Kotaku melihat dirinya sendiri
Seperti kuda buta di jalan-jalan yang menghubungkan angin pada debu
Kotaku mulai berdandan dengan paras khianat
Keindahan nampak di mata, namun tak terlihat wajah makna
Biarkan puisi membawaku ke asal ada
Dengan alam dan cinta kasihnya
Sebab asap pekat bahasa, telah lama mengalungkan dukanya.
Apakah masa lalu masih menungguku?
Sebab semalam duka itu datang, namun makna masih terpendam
sedalam derita menggali keriuhan tangis tak sampai-sampai
Hati kian berdebar dalam kebisuan takdir
Mengiris dada berkeping-keping
seperti petir panjang menyibak langit yang tak mau ada kehilanggan
usia menggugurkan putik-putik perasaan
menyulut semerbak impian
kegamangan jalan tak berujung
menyergap keinginan untuk segera sampai pada tujuan
namun selalu tertinggal
sebab letih dan pedih dalam remah-remah kisah
menyisakan peluh kesah bagi pertanyaan yang muncul:
sampailah aku di sarangmu, yang telah lama kau tinggalkan: arsitektur dingin, buku-buku meratapi dirinya sendiri, foto-foto masa lalu, juga lukisan menggantung sendu, bangku-bangku memanah televisi, lemari bambu menjadi penghuni bagi ruang semu, ranjang-ranjang menggigil, kasur dan bantal selembut hati para penghuni.
di kolammu, ikan-ikan mengitari teratai seolah membisikkan ketiandaanmu kini. setiap kali sajakku singgah di rumahmu bersama getirnya hujan, yang menyertai curahan nasib, mengantarkan diriku ke ruang sunyi semestamu; diam-diam kucuri bintang di bibir dedaunan namun tak juga berguguran seperti tangis kanak-kanak yang mengetuk pintu sejarah muasal persetubuhanku dengan buku-buku yang tak juga melahirkan benih-benih peristiwa baru. 2011
-ayah kesendirian adalah batu batu-batu menjadi diriku terlempar jauh aku membentur kenakalan menyumbat aliran comberan tetangga sampai genangan tangisan beraroma kebencian ayah yang tak tabah mendengar jeritan dari sobekan gendongan yang telah menancap duri-duri jeruk terlempar jauh aku di pemakaman yang lengang di sanalah malam menjadi teman paling siang -nenek darah yang kau semburkan dari mulut tersumpal sirih, kapur dan sekerat pinang tua yang kau ambil sendiri dari pohon doa suci meski dinding semerah saga memercik pada kaki bergetar yang tak kuat lagi memelukmu walau hanya bayang-bayang saja -kakek tidurmu akan menemukan mimpi yang telah lama menunggu sewaktu siang kembali berharap malam untuk menangkap batu-batu naga yang telah lepas dari tangan rahasia kebisingan kembali tumbang oleh derap langkah para penghamba datang mengadukan bulan padam merangkaki tangga-tangga dalam mendekap tubuh sampai runtuh atap langit terkuak pasrah segerombolan angin meliuk-liuk menyeret asap kegaiban pada matamu yang terbuta lebar melihat arah ketersesatan cahaya lalu kau hidup di pusat kegelapan keteduhan tak pernah kau temui melempar siang menjadi malam sampai tubuh terhempas ke langit menjadi gerimis menusuk padang kata hingga tumbuh benih impian merengkuh jiwa yang telah lama tiada meski batu-batu duka pergi namun selalu kembali -kakak telah kau akhiri dibatas waktu yang telah tiba kau pergi membawa bulan tidur setenang wajah malam melupakan terik matahari menaruh terik abu-abu jasad terbakar oleh peristiwa sisa usia dan nama-nama hari yang berbeda semoga engkau setenang senyu takbir membalut doa-doa cucu ayat-ayat suci meliliti pusara yang terbujur kaku ditengah sepi 2011
harum bunga percumbuan semakin merasuki otak bergentayangan bersama segerombolan nafas panjang menarik-narik jantung seperti serigala merangkak mengusung nasib buruk meski berulangkali menelan sepi tubuh menyala-nyala membuka kebisuan tirai asmara kehangatan kembali telanjang mencipta bunga-bunga darah bermekaran menyalakan menara hati di ujung dingin menusuk mata yang begitu nyata memandang kenyataan yang begitu hampa sampai teriakan seperti langkah kabut menyembunyikan rahasia kesenyapan yang begitu runcing menusuk dusta teriakan kembali lenyap dalam ketakutan sampai segalanya menjauh dari tangan-tangan besi kesakitan meloncat-loncat bergegas pergi benda-benda seolah hantu yang semakin nampak dalam kemurungan puisi bergumam tentang kutukan lewat celah jendela yang terus terbuka mengintip kegelapan 2011
apakah kepergianku akan membawa kedatanganku juga? sewaktu badai, angin, dan ombak mengantarkan diriku ke dermaga kenyataan yang sebenarnya tak nyata bagi kenyataanku yang hampa kenangan menjadi remang-remang hanya menjadi kata-kata asing di mana matahari berulangkali menanam benih cahayanya menumbuhkan kembali senja di bibirnya mengembalikan ingatan tentang pelayaran panjang menuju kepulangan lain, setiap kali sentuhan dingin dan teriakan camar dari seberang menerpa layar perahu mimpiku yang oleng seperti merangkaki bukit-bukit berbatu, terjal penuh liku hutan-hutan liar pikiran harimau, mengaum, menyeret usia yang rumpang antara batas pengasingan dan jejak pengembaraan seketika hadir seperti angin yang mengubur wasiat hidup yang hanya mengulang cerita duka 2010